Bripka Isma Diyanto dan Karya-karyanya tentang Bonek

Bripka Isma Diyanto menuai buah dari kecintaannya terhadap Bonek. Beragam penghargaan didapatkannya dari karya tentang kelompok suporter klub sepak bola asal Surabaya, Persebaya, tersebut.

HASTI EDI SUDRAJAT, Surabaya

WAJAHNYA berfokus menatap layar komputer. Jemarinya seperti menari di atas keyboard. Dia sesekali berhenti mengetik. Menghela napas sebentar. Lalu, melanjutkan ketikan.

Malam sudah larut saat dia membuat tulisan tersebut. Namun, Isma melawan rasa kantuknya demi karya terbaru tentang Bonek. Hasilnya pun tidak sia-sia ketika tulisan dikirimkan kepada panitia lomba blog yang diadakan Divisi Humas Mabes Polri beberapa bulan lalu. Juri menganggap tulisannya di blog pribadinya yang bernama specialsid35.com sebagai salah satu yang terbaik.

Karya Isma didapuk sebagai juara ketiga lomba tersebut. Menyisihkan ratusan tulisan peserta lainnya. ”Bangga yang pasti. Niat awal mengangkat citra positif Bonek juga disertai sebuah penghargaan,” ujar Isma kepada Jawa Pos.

Dalam tulisan itu, dia mengusung kemesraan Bonek dan Kapolrestabes dari masa ke masa. Dari era M. Iqbal (sekarang Kapolda Nusa Tenggara Barat) sampai Johnny Eddizon Isir (sekarang Wakapolda Sulawesi Utara).

Isma selama ini memang memiliki perhatian khusus terhadap Bonek. Dia merasa risi dengan cap stigma negatif terhadap kelompok suporter tersebut. Bonek, kata dia, sebenarnya tidak seperti yang digambarkan. Mereka memiliki banyak kegiatan positif.

Dia mulai membuat karya tentang Bonek pada 2017. Media pilihannya adalah YouTube. Dia membuat video yang membahas aksi Bonek. Mulai koreografinya di stadion, penciptaan lagu, sampai bakti sosial.

Akun Specials ID35 besutannya ternyata mendapat sambutan hangat.
Jumlah viewer dan subscriber-nya terus melonjak seiring dengan berjalannya waktu. Bahkan, dalam kurun sekitar setahun, jumlah pengikut akunnya menembus angka 100 ribu. Isma pun diganjar penghargaan dari YouTube. Dia berhak mendapatkan piagam Silver Play Button. Reward yang diidamkan content creator dari perusahaan yang bermarkas di California tersebut.

Namun, jalan menuju penghargaan itu juga tidak mudah. Isma sempat jatuh bangun menjadi YouTuber. Dia menyebut akun pertamanya diblokir. ”Konten saya dianggap menduplikat karya akun lain,” ungkapnya.

Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Isma menyatakan, video produksinya yang diunggah ulang oleh akun lain. Kondisi itu terjadi karena dia belum memahami pengaturan hak cipta. ”Di YouTube itu ada kolom untuk menegaskan video yang dibuat adalah karya kita,” jelasnya.

Isma sempat meradang. Maklum, jumlah pengikut akunnya yang diblokir sudah mencapai 12 ribu. Namun, dia enggan putus asa. Isma justru menjadikannya sebagai pelajaran. Bapak tiga anak itu meniti ulang langkahnya dengan membuat akun baru. Hingga saat ini, ada 688 ribu pengikutnya. Jauh melampaui akun pertama.

Banyak pengalaman yang didapat ketika Isma membuat konten. Salah satunya, dia pernah diprotes beberapa orang karena membuat video tentang Aremania –kelompok suporter klub sepak bola dari Malang– yang punya rivalitas dengan Bonek. ”Mereka saya beri pemahaman bahwa rivalitas itu tidak harus dari segi yang negatif,” jelasnya.

Belakangan, Isma mencoba mengikuti tren video yang disukai masyarakat. Dia membuat konten podcast. Bintara polisi kelahiran 1988 itu sampai membuat studio podcast mini di sudut rumahnya.

Konten podcast-nya cukup memantik perhatian. Isma mengungkapkan, podcast pertamanya dengan mengundang dua pentolan Bonek dilihat satu juta orang dalam kurun waktu sehari. ”Jadi semangat tersendiri untuk terus berkarya,” ujarnya.

Isma tidak hanya ingin mengubah stigma negatif Bonek dari karyanya. Dia juga berharap konten-konten buatannya membuat citra polisi di mata masyarakat semakin baik. ”Jujur, saya berasal dari keluarga sederhana,” ungkapnya.

Alumnus SMA PGRI 1 Sidoarjo itu tidak pernah bermimpi menjadi polisi. Garis hidup yang menuntunnya menjadi anggota Bhayangkara. ”Begitu lulus sekolah, sebenarnya saya mau lanjut kuliah,” kenangnya.

Isma ingat diberi uang Rp 250 ribu oleh ibunya untuk mendaftar di salah satu perguruan tinggi ternama di Surabaya. Namun, dia harus menelan ludah ketika sampai di kampus yang dituju. ”Uangnya kurang. Waktu itu, kalau tidak salah, biaya pendaftaran Rp 300 ribu,” jelasnya.

Isma merasa orang tuanya tidak akan sanggup kalau dirinya memaksakan diri. Dia memilih pulang. Dalam perjalanan, matanya melihat spanduk pendaftaran polisi. Isma mencobanya dan berhasil. (jp)