Megawati Pernah Menggoda: “Malu-maluin, Masak Kapolri Naik Sepeda”
100 Tahun Hoegeng: Keteladanan yang Abadi
Buku Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladanan merekam, antara lain, dukungan istri dan anak menguatkan Hoegeng Iman Santoso dalam komitmen menjaga integritas. Kata Kabaharkam Polri, sudah sangat bagus jika anggota kepolisian bisa mencontoh 50–60 persen saja dari keteladanan mantan Kapolri tersebut.
FOLLY AKBAR, Jakarta
DI mata salah seorang anaknya, Aditya Hoegeng, Jenderal (pur) Hoegeng Iman Santoso adalah sosok yang punya dua kepribadian. Saat mengenakan seragam, Hoegeng merupakan sosok yang profesional, penuh integritas, dan tanpa kompromi.
Namun, begitu berada di rumah, pembawaan Kapolri periode 1968–1971 itu berubah menjadi hangat, akrab, dan humoris.
Dua sosok berbeda itu pernah dirasakan Didit –panggilan Aditya Hoegeng– saat hendak mendaftar sebagai anggota Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) AU (Angkatan Udara) pada 1968. Kebetulan, cita-citanya kala itu adalah menjadi pilot tempur AU.
Semua persyaratan pun dia kumpulan sendiri tanpa sepengetahuan ayahnya. Namun, pada akhirnya, dia mesti menghadap sang ayah karena harus ada syarat menyertakan surat izin dari orang tua.
Karena situasi mendesak, Didit pun mendatangi Mabes Polri. Namun, yang didapati adalah kekecewaan. Sang ayah yang dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 14 Oktober 1921 menolak membicarakan hal pribadi di kantor. ”Katanya nanti saja,” ujarnya dalam peluncuran buku Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladanan di Jakarta, Minggu (7/11).
Saat tiba di rumah, ayahnya berubah menjadi sangat lembut. Namun, tetap saja, surat izin belum diberikan tanpa alasan yang jelas. Hingga beberapa hari kemudian, Didit diminta Hoegeng mendatangi Akabri tanpa membawa surat izin orang tua. ”Saya pikir dia Kapolri langsung kirim radiogram (tentang tidak perlu surat izin),” kata Didit.
Namun, yang didapati Didit, pendaftaran justru ditutup dua hari sebelumnya. Dia yang kecewa sangat muntab kepada ayahnya. Kemarahan itu lantas dia tuangkan dengan merusak peralatan lukis kesayangan Hoegeng.
Dia juga mengurung diri di kamar. Saat itulah, kata Didit, Hoegeng melalui asisten rumah tangga mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Menjelaskan alasan Hoegeng tak kunjung memberikan surat izin.
Rupanya, Hoegeng menolak memberikan surat izin sebagai orang tua. Dia khawatir, meski surat izin tersebut bersifat pribadi sebagai ayah Didit, statusnya sebagai Kapolri ditafsirkan lain oleh panitia Akabri.
”Beliau mikirnya ke depan, takut saya mendapatkan kemudahan dan sebagainya (selama tes dan pendidikan). Apalagi, saat itu Polri dan TNI masih berada dalam satu naungan ABRI (sekarang TNI),” ungkapnya.
Integritas memang menjadi prinsip yang dipegang Hoegeng saat menjabat Kapolri. Dalam urusan apa pun, dia tak ingin ada urusan pribadi yang beririsan dengan jabatannya. Karena ”takut” mendapatkan kemudahan itu pula, tak ada anak dan cucunya yang melanjutkan karier di Polri maupun TNI hingga saat ini.
Cerita Didit, itulah satu di antara sekian banyak teladan yang ditunjukkan Hoegeng. Kisah-kisah Hoegeng itu pula yang diabadikan dalam buku Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladanan. Buku tersebut merupakan kolaborasi antara keluarga besar Hoegeng dan Farouk Arnaz, mantan wartawan yang hampir 20 tahun bertugas liputan di isu kepolisian. Didit menyebut buku itu sebagai penghargaan pada momen 100 tahun untuk almarhum ayahnya.
Farouk menjelaskan, bukunya menceritakan sisi-sisi humanisme dari sosok Hoegeng. Khususnya dalam relasinya sebagai sosok kepala rumah tangga dan kerabat. Dia banyak menggali berbagai keseharian dari istri, anak, cucu, hingga mantan pembantu-pembantu Hoegeng.
Judul Dunia Hoegeng dalam bukunya merupakan hasil refleksi atas bacaan panjang dirinya mewawancarai keluarga dan kerabat almarhum. ”Pak Hoegeng seseorang yang mempunyai dunia sendiri,” kata Farouk.
Dunia itu yang pada akhirnya tak bisa dimasuki pengaruh dunia luar yang dapat merusak integritasnya sebagai pejabat negara. Dia melihat, sisi positif seorang Hoegeng yang sederhana dan berintegritas juga tak terlepas dari komitmen anak dan istrinya yang mau hidup dengan cara tersebut. Penghasilan ”seadanya” yang dia terima diterima dan disyukuri keluarganya.
”Mereka (keluarga) dengan ikhlas berada di satu barisan yang sama dengan beliau. Tanpa dukungan keluarga, saya kira sulit pejabat negara hidup sederhana,” ujarnya.
Di aspek politik, lanjut Farouk, sosok Hoegeng yang memiliki dunia sendiri juga diterima banyak kelompok. Buktinya, pada era Orde Lama, dia dipercaya menjabat kepala imigrasi, menteri iuran negara, hingga sekretaris kabinet. Begitu rezim Orde Lama tumbang, Hoegeng dipercaya Soeharto menjadi Kapolri. ”Siapa pun yang jadi pimpinan, Pak Hoegeng punya nilai sendiri,” tegas dia.
Farouk menuturkan, cerita soal Hoegeng harus terus dihidupkan agar bisa menjadi teladan sekaligus bukti sejarah bahwa pejabat dapat hidup sederhana. ”Pernah ada dan bisa seorang pejabat negara hidup dengan cara santai seperti itu. Semoga buku ini juga bisa menjadi penyulut gairah bagi 440 ribu anggota Polri untuk menjadi pengayom masyarakat,” tuturnya.
Sosok Hoegeng yang sederhana dan bersahaja juga disaksikan Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP yang juga presiden kelima RI. Lewat video, Mega mengungkapkan bahwa salah satu momen yang paling diingatnya adalah pertemuan pagi di persimpangan Jalan Trunojoyo. Pertemuan itu hampir terjadi setiap pekan. Mega yang hendak berangkat ke kampus UI kerap bertemu dengan Hoegeng yang menuju kantor.
Suatu waktu, Mega sempat menggoda Hoegeng yang selalu bersepeda. ”Malu-maluin masak Kapolri naik sepeda,” kata Mega. Namun, Heogeng tak marah sedikit pun. ”Ya, biar aja ini kan sekalian olahraga,” jawab Hoegeng sebagaimana ditirukan Mega.
Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri Komjen Arief Sulistyanto menyatakan, Hoegeng bukan hanya legenda Polri, tetapi juga fakta sejarah yang dimiliki Indonesia dan patut diteladani. Arief selalu memasang foto Hoegeng di ruangan di mana pun dirinya ditempatkan. Foto itu dia anggap sebagai pengingat. ”Bahwa ada sosok polisi yang hebat yang patut dijadikan contoh,” tuturnya.
Saat ini, lanjut dia, anggota Polri akan sulit mengikuti jejak Hoegeng secara penuh. Namun, dia berpendapat, sudah bagus jika anggota Polri bisa mencontoh 50–60 persen dari apa yang dilakukan Hoegeng. Bagi dia, Hoegeng juga contoh bahwa bekerja jujur dan berintegritas bisa membawa siapa pun pada kesuksesan karier.
Candaan Gus Dur yang menyebut hanya Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur yang dapat dipercaya harus menjadi pelecut semua anggota Polri. ”Ini kritik bagi kepolisian, cukup menyakitkan, tapi jadi motivasi,” kata dia.
Istri Hoegeng, Meriyati Roeslani, mengapresiasi semua kalangan yang terlibat dalam perayaan 100 tahun suaminya. Dia bersyukur apa yang dilakukan suaminya tetap diingat dan menjadi teladan sampai hari ini.
”Hoegeng telah lama pergi, tapi keteladanannya abadi,” ujarnya melalui video. (jp)